Candi
Ngetos. Barangkali candi ini sudah begitu populer bagi kalayak Nganjuk
dan sekitarnya. Candi Ngetos merupakan sebuah candi penting dari era
Majapahit yang terletak di kawasan Kabupaten Nganjuk. Candi Ngetos
terletak di lereng utara Gunung Wilis dan secara administratif berada di
Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos. Setelah sekian lama kami mendengar
mengenai ketenaran candi ini, akhirnya pada perjalanan kali ini kami
berkesempatan untuk menyambanginya. Oke.. sebelum bercerita lebih jauh,
terlebih dahulu akan kami ceritakan kronologi perjalanan ini.
Seperti
biasanya, perjalanan kami selalu diawali dari Blitar. Perjalanan dari
Blitar ke Candi Ngetos di Nganjuk lumayan jauh. Jika ditarik garis lurus
saja, jaraknya sudah hampir 60 km, itu belum jarak real yang harus kami tempuh lho.. Okelah kami berangkat pagi biar gak
kesiangan sampai di tujuan. Mengawali perjalanan pada pukul 09.00 WIB,
kami estimasikan sampai di tujuan pada pukul 11.00 WIB. Syukurlah berkat
kondisi jalan yang sudah aspal mulus, akhirnya kami bisa sampai di
tujuan lebih awal.
Rute yang kami lalui adalah rute standar
untuk menuju Nganjuk, rute ini sangat mudah diikuti. Berikut rincian
rute dari Blitar menuju Candi Ngetos: Blitar – Srengat – Kediri – Pace
(Nganjuk) – Berbek – Ngetos. Poin penting rute ini adalah pada pertigaan
Kantor Camat Pace, dari pertigaan tersebut rute yang tercepat berada
pada percabangan sebelah kiri. Dengan menyusuri rute tersebut kami
sampai di Berbek. Dari Berbek kami melanjutkan perjalanan ke arah Sedudo,
tapi tidak sampai jauh kami sudah menjumpai plang menuju Candi Ngetos.
Dengan mengikuti petunjuk dari plang tersebut akhirnya kami sampai di
Candi Ngetos.
Candi Ngetos
Tidak perlu terlalu mblusuk untuk mencari
candi ini, karana lokasinya berada dipinggir jalan. Candinya gede,
merah pula. Pokoknya mencolok banget. Hehehe Sayangnya area candinya sempit, sehingga agak sulit untuk mendapatkan angle yang pas buat foto. Hem.. ndak apa deh, difoto sebisanya.
Candi
Ngetos merupakan candi langgam Jawa Timur dengan ciri-ciri sebagai
berikut: bentuk bangunannya ramping, tersusun dari batu bata, dan
insyaAllah menghadap ke barat (maaf kemarin gak bawa kompas, jadi
cuma perkiraan). Kondisi candi ini sudah rusak, bentuk tubuh candi yang
bisa terlihat sekarang sebagian merupakan hasil pemugaran, bisa dilihat
banyak tambalan semen baru di sana-sini. Atap candi ini juga sudah
hilang, sehingga bentuk asli candinya belum bisa diketahui.
Kerusakan-kerusakan ini sebenarnya wajar, mengingat bahan penyusun candi
ini adalah bata, sehingga rentan mengalami kerusakan.
Bentuk Candi Ngetos (kiri) mirip dengan Candi Kalicilik di Blitar (kanan), tapi tak ada kaitan yang erat antara kedua bangunan ini.
Latar sejarah mengenai Candi Ngetos belum
banyak diketahui. Berdasarkan mitos yang berkembang, candi ini
dipercaya sebagai tempat pendharmaan Hayam Wuruk, raja terbesar
Majapahit yang bergelar Rajasa Negara. Yang mendirikan candi ini adalah
paman Hayam Wuruk, yakni Raja Ngabei Siloparwoto dengan patihnya bernama
Raden Bagus Condrogeni/ Condromowo dari kerajaan vassal Majapahit yang
bernama Ngatas Angin (sekarang di sekitar Nganjuk). Candi ini didirikan
di lereng Gunung Wilis yang merupakan salah satu gunung suci di tanah
Jawa. Pendirian candi yang terletak di lereng gunung dimaksudkan agar
bangunan suci berada lebih dekat dengan kediaman para dewa. Karena
menurut kepercayaan pada masa silam, puncak gunung merupakan kediaman
para dewa.
Kisah yang kami sampaikan di atas memang
sebatas mitos, namun ada yang menarik dari mitos tersebut, yakni adanya
peranan tokoh Raden Condromowo. Dalam mitos yang lain dikisahkan
Condromowo dari Ngatas Angin merupakan saudara dari Prabu Kelono Jati
Kusumo dari Kerajaan Bantar Angin (kerajaan vassal Majapahit di Lodoyo
Blitar). Wah-wah berdasarkan mitos ini ternyata Blitar dan Nganjuk
adalah bersaudara. Hehehe.. rasanya jadi gimana gitu.. Perjalanan kami ke Candi Ngetos jadi serasa mengunjungi saudara sendiri.
Mitos Ngatas Angin ini sepertinya memang
sudah lekat dengan Nganjuk, dimana kabupaten ini juga sering disebut
kota angin. Entah berkaitan atau tidak tapi ini memang keren.
Setalah merasa cukup akhrinya kami
putuskan untuk menyudahai perjalanan ini. Kami pun pulang dengan rute
yang sama seperti saat kami berangkat tadi. Ketika melintasi Berbek kami
bermaksud untuk Shalat Dzuhur, kebetulan ada Masjid, kami mampir deh. Ndak nyangka kami dapat BONUS perjalanan di sini.
Masjid Al Mubaarok Berbek
Pada plang Masjid yang kami jumpai,
tertulis keterangan yang berbunyi makam Pangeran Njimat. Wah..
Sepertinya Masjid ini bukan Masjid biasa. Okelah kita mampir.
Dugaan
kami benar. Setalah masuk ke pelataran Masjid kami menjumpai sebuah
yoni. Wow keren.. ternyata ini adalah Masjid kuno yang menyimpan bukti
akulturasi Islam Hindu. Keberadaan yoni pada Masjid ini tetap
terpelihara dan dimanfaatkan sebagai jam matahari untuk menentukan waktu
Shalat. Wah jadi kagum nih, ternyata di era modern ini masih ada
sisa-sisa bukti awal penyebaran Islam yang pluralis di Jawa.
Sebenarnya
di belakang Masjid masih dapat dijumpai beberapa benda cagar budaya,
tapi kami agak sungkan mau blusukan ke dalam, mengingat ini adalah
tempat Ibadah.
Setelah melewati tengah hari di Masjid
ini, akhirnya kami putuskan untuk segera bertolak ke Blitar. Perjalanan
kali ini benar-benar memuaskan hati, selain kami dapat mengetahui Candi
Ngetos dan mitos Ngantas Angin-nya, kami juga dapat bonus di Masjid Al
Mubaarok. Akhrinya kami tutup perjalanan ini dengan rasa puas.
Tulisan terkait candi lain di Nganjuk:
——————————————————————————————————————————————-
Writer : Galy HardytaRevisi terakhir : -
Anjuk Ladang di Sepenggal Perjalanan
Participant : Galy, Koje
Perjalanan Blitar-Jogja memang sudah
biasa kami alami, terutama bagi saya dan Koje yang memang kuliah di
Jogja. Tapi ada yang berbeda dalam perjalanan ini di mana kami mencoba
mampir ke salah satu spot menarik di Nganjuk. Mungkin karena masih dalam
suasana libur awal tahun 2012, sehingga kami bisa meluangkan waktu
tanpa kuwatir kemalaman tiba di Jogja. Spot yang kami pilih dalam
perjalanan ini adalah Candi Lor yang secara administratif berada di Desa
Candirejo, Kecamatan Loceret, Nganjuk, Jawa Timur. Alasan mengapa kami
memilih spot ini karena lokasinya berada tak jauh dari jalan
Kediri-Nganjuk yang tentunya dilalui oleh kendaraan umum.
Dengan biaya Rp 15.000,- kami tinggal ungkang-ungkang
kaki tanpa harus memikirkan rute mana yang akan dipilih. Asal nanti
sudah terlihat sepuah Pohon Kepuh yang tumbuh pada tumpukan bata merah
berarti kami sudah harus menepi. Tapi menunggu penampakan pohon tersebut
ternyata sangat lama. Baru setelah satu setengah jam ngobrol ngalor-ngidul
ga jelas akhirnya tanda-tanda itu terlihat juga. Tanpa basa-basi kami
pun segera menepi dan berpamitan pada mas Kondektur hehehe. Perjalanan
pun kami lanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 300 meter menuju lokasi
candi.
Setiba
di lokasi, bapak juru kunci Candi Lor langsung menyambut kami dengan
ramah. Sebelumnya kami dipersilahkan untuk mengisi buku tamu terlebih
dahulu, tapi karena tidak mau buang-buang waktu kami pun berbagi tugas.
Juru kunci saya yang menghadapi sedangkan Koje langsung eksplor ke
bangunan candi.
Disatu sisi Koje sudah kemput penekan
ke atas candi, saya masih tertahan oleh penjelasan bapak juru kunci.
Tapi berkat ini kami menjadi sedikit lebih tau tentang latar belakang
pendirian Candi Lor. Terlebih dahulu kita ketahui bahwa keberadaan Candi
Lor cukup penting karena merupakan salah satu bukti peninggalan Dinasti
Isyana. Dinasti tersebut didirikan oleh Pu Sindok dan merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno (Medang) dari Jawa Tengah. Berita
mengenai Candi Lor dimuat dalam prasasti Anjuk Ladang keluaran Sri
Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa. Dalam prasasti
berangka tahun 895 Saka / 937 Masehi tersebut disebutkan mengenai
Jayastamba, yakni tugu peringatan atas kemenangan Pu Sindok terhadap
musuhnya dari Melayu. Keberadaan bangunan tersebut memiliki arti penting
bagi Nganjuk. Hal tersebut terkait dengan anugrah Sima yang diberikan
oleh Pu Sindok kepada Desa Anjuk Ladang, sehingga desa tersebut bebas
dari pajak tetapi berkewajiban untuk merawat bangunan suci Jayastamba.
Tanggal penetapan Sima tersebut kini diperingati sebagai hari jadi
Nganjuk setiap tanggal 10 April. Keterangan tambahan yang kami peroleh
dari juru kunci adalah mengenai tokoh-tokoh lain yang membantu Patih
Sawung Logo (Pu Sindok sebelum menjadi raja) untuk mendirikan Candi Lor.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Rakyan Baliswara, Rakyan
Sahasra, Rakyan Kanuruhan serta abdi kinasihnya Eyang Kerto dan Eyang
Kerti. Makam Eyang Kerto dan Eyang Kerti hingga kini masih dapat
dijumpai di sebelah barat candi.
Selain
latar sejarah, bapak juru kunci juga menjelaskan mengenai posisi Candi
Lor saat ini. Meskipun sudah menjadi salah satu obyek wisata di Nganjuk,
tetapi candi ini masih sering digunakan untuk berbagai ritual terkait
kepercayaan. Kebetulan saat itu sedang ada pengunjung yang ingin nyadran
di Candi Lor sehingga kami sempat mendengar syarat-syarat
perlengkapannya. Syarat-syarat tersebut antara lain: membawa bunga (bisa
bunga tujuh rupa), membawa dupa (bisa kemenyan), bertafakur di lokasi
candi minimal dua jam (biasanya dilakukan di bagian bilik candi).
Setelah dirasa cukup saya pun bergegas menyusul Koje mengeksplor
sudut-sudut Candi Lor.
Selain
bata merah di lokasi Candi Lor juga dapat dijumpai beberapa komponen
yang berbahan dasar batu andesit. Komponen-komponen tersebut terdiri
dari batu candi, pecahan yoni, dan ambang pintu. Arca Ganesa dan Siwa
Mahadewa yang dipaparkan dalam papan keterangan tidak dapat lagi kami
jumpai. Mungkin arca-arca tersebut tersimpan di Museum Anjuk Ladang.
Karena penasaran kami segera berpamitan pada bapak juru kunci kemudian
melanjutkan perjalanan ke Museum Anjuk Ladang.
Masih munggunakan jasa angkutan umum,
kami pun melanjutkan perjalanan ke Museum Anjuk Ladang yang lokasinya
tidak jauh dari Terminal Nganjuk. Setiba di terminal kami langsung
meluncur ke TKP. Eh ternyata Museumnya lagi tutup.. Hass…
Ya
sudah lah.. Sepertinya maen-maennya harus disudahi sampai disini, sudah
saatnya kami melanjutkan perjalanan kami yang tertunda. Semoga
disepenggal perjalanan selanjutnya kami dapat menuntaskan rasa penasaran
itu. Sampai jumpa lagi bumi Anjuk Ladang.
Tulisan terkait candi lain di Nganjuk:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar